Lompat ke konten
Beranda » Berita » Religiusitas, Ekonomi, dan Pendidikan di Kampung Halaman: Sebuah Refleksi Pribadi

Religiusitas, Ekonomi, dan Pendidikan di Kampung Halaman: Sebuah Refleksi Pribadi

Di kampung halaman tercinta, saya mengamati perbedaan mencolok dalam keaktifan beribadah warga. Ketika shalat berjamaah di mushola A – dimana jamaah mayoritas berstatus PNS, TNI, dan pensiunan dengan penghasilan tetap – jumlah jamaah terbilang banyak, mencapai dua puluhan. Sebaliknya di mushola B yang mayoritas warga adalah buruh tani, dan pekerja serabutan, jamaah shalat bahkan tidak mencapai sepuluh orang. Idealnya, Islam mengajarkan persamaan derajat dalam shaf jamaah: “Orang kaya akan berdampingan dengan orang miskin dalam satu shaf” (dikutip dari rumaysho.com). Namun dalam kenyataan ini muncul pertanyaan, sejauh mana status ekonomi dan pendidikan memengaruhi religiusitas warga?

Pengaruh Status Ekonomi

Pengalaman lapangan dan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kondisi ekonomi berperan besar dalam keaktifan beribadah berjamaah. Di desa kami, banyak buruh tani atau pekerja lepas masi bekerja saat azan berkumandang. Sehingga mereka terpaksa absen dari shalat jamaah. Hal ini tercermin pula dalam penelitian lapangan nelayan Aceh, yang menyimpulkan bahwa “ekonomi masih menjadi faktor yang paling berpengaruh karena ketika masuk waktu shalat jamaah nelayan masih bekerja” (dikutip dari respository.ar-raniry.ac.id) . Dengan kata lain, ketidakstabilan penghasilan dan tuntutan ekonomi harian dapat mengurangi kesempatan warga untuk menunaikan shalat berjamaah. Sebaliknya, warga dengan pendapatan tetap (seperti PNS atau pensiunan) cenderung memiliki waktu luang lebih teratur untuk beribadah. Dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin baik status ekonomi seseorang, semakin besar kemungkinan ia aktif beribadah bersama jamaah – setidaknya dalam konteks desa kami, dimana kebutuhan ekonomi langsung memengaruhi jadwal ibadah.

Pengaruh Pendidikan

Selain ekonomi, tingkat pendidikan berperan dalam membentuk sikap keagamaan. Mayoritas jamaah di mushola A memiliki latar belakang pendidikan lebih tinggi daripada jamaah di mushola B. Secara umum, pendidikan formal dapat memperluas wawasan seseorang tentang ajaran agama, namun juga sering membawa orientasi sekuler modern. Penelitian lintas negara misalnya menemukan korelasi negatif yang signifikan antara tingkat pendidikan akademik dan religiusitas (dikutip dari files.eric.ed.gov). Dengan kata lain, secara statistik orang yang lebih terpelajar cenderung melaporkan religiusitas yang lebih rendah. Demikian pula, penelitian tersebut menunjukkan korelasi negatif antara status sosioekonomi dan religiusitas (dikutip dari files.eric.ed.gov). Artinya, secara global, modernisasi dan pendidikan tinggi sering dikaitkan dengan penurunan keterikatan ritual agama. Namun, konteks desa kecil kami mungkin berbeda. Di sini, warga berpendidikan tinggi yang berstatus PNS/TNI rupanya justru lebih rajin mengikuti pengajian dan kegiatan mushola, mungkin karena kecenderungan mempertahankan tradisi keagamaan atau tersedianya pembelajaran agama. Sebaliknya, warga berpendidikan relatif rendah yang sibuk bekerja di ladang cenderung lebih sering mengutamakan kelangsungan hidup. Dengan demikian, pengaruh pendidikan terhadap religiusitas dapat bersifat kompleks: di satu sisi meningkatkan pemahaman, di sisi lain terkait gaya hidup modern yang kurang melibatkan ritual keagamaan.

Refleksi dan Kesimpulan

Dari pengalaman pribadi terlihat bahwa status ekonomi dan pendidikan saling terkait dalam menentukan dinamika religiusitas jamaah. Status ekonomi memengaruhi ketersediaan waktu dan prioritas beribadah (warga bergaji teratur lebih mudah luang shalat jamaah). Sedangkan pendidikan mempengaruhi cara pandang terhadap agama (dengan kecenderungan global yang unik). Semua ini secara kolektif menjelaskan kenapa mushola dengan jamaah PNS/TNI lebih ramai dibanding mushola dengan jamaah buruh tani.

Ideal Islam menekankan kesetaraan umat dalam beribadah; seperti disabdakan Nabi Muhammad saw., orang dari berbagai strata justru berdiri berdampingan dalam shaf yang sama (dikutip dari rumaysho.com) . Namun faktor realitas kehidupan (keuangan dan pendidikan) seringkali menyebabkan perbedaan dalam praktik keagamaan. Refleksi ini mendorong kita untuk memperkuat peran masjid dalam menjembatani perbedaan tersebut. Misalnya dengan mengadakan kajian agama yang mudah diakses oleh semua golongan, atau mengembangkan gotong-royong ekonomi umat agar warga tak terlalu terbebani urusan duniawi. Intinya, meski statistik menemukan korelasi tertentu antara ekonomi/pendidikan dan religiusitas , semangat persaudaraan dan pemakmuran masjid harus terus dijaga. Dengan begitu, kita berharap tidak ada lagi jurang kehadiran dalam shalat jamaah hanya karena perbedaan status sosial atau pendidikan, melainkan terjalin ukhuwah Islamiyah sejati di antara jamaah desa .

Sumber: Refleksi pribadi berdasarkan pengamatan lapangan, dilengkapi oleh temuan penelitian terdahulu dan keterangan keagamaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *